‘Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita’
Potongan lirik lagu berita pada kawan yang mengalun lirih dari sudut warung bambu milik Rusmini, membawa Cak Besut larut dalam lamunan tak bertepi. Temaram lampu minyak yang redup tertiup angin, berusaha menerobos sunyi ditengah rintik hujan yang menari, kian menambah dinginnya malam. Cak Besut yang jarang berkumpul dengan para karibnya, dipaksa bersabar menunggu hujan tak lagi menyirami bumi.
“Yo ngunu lek ngowah ngowahi adat, biasa jebas jebus, moro-moro ngilang gak onok kabare, kapok a sak iki banyu langit seng mekso riko anteng kumpul kancane sak iki,” celoteh Man Gondo membuyarkan lamunan Cak Besut.
“Lah yo nang ndi ae sampean iki cak, lali ta karo udekan ku iki ?,” timpal Rusmini manja.
Cak Besut hanya tersenyum kecut. Berbatang-batang rokok putih favoritnya telah habis terbakar. Tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan kedua sahabatnya itu, Cak Besut menyeruput kopi kental khas Rusmini.
Lek Sumo yang sedari tadi berada disamping Cak Besut, lebih tertarik mengomentari kebiasaan Cak Besut yang mulai aneh dalam menikmati kopi. Biasanya, Cak Besut selalu memesan racikan kopi ditambah sedikit gula. Namun kali ini, setelah lama tak bersua, sahabatnya yang terkenal paling kritis tersebut memilih kopi tanpa gula.
“Kenek diabet ta pean ? Kok suwi gak ketemu kabeh-kabeh berubah,” Lek Sumo mencoba mencairkan suasana.
Diberondong berbagai pertanyaan, memaksa Cak Besut buka suara.
“Aku iku ngurusi sawah ku Lek, Man, Yu. Aku kudu ngatur dulur-dulurku, anak-anakku piye carane iso ngramut sawah bareng ben mbesuk iso hasile dipanen bareng,” jawab Cak Besut sembari terus menerawang jauh.
“Aku metu sak iki maeng goro-goro oleh kabar, kadipaten Njomplang akeh musibah. Mulai seng daerah Kesamblek banjir sampek patbelas dino, Mojoangklung banjir, ketambahan Mbaleng banjir bandang, malah bengi iki Mojowarok banjir pisan, persis lagu ne seng diputer Yu Rus maeng,” Cak Besut mulai serius mengawali pembicaraan.
“Iyo cak, aku yo sakno, nang pasar bahas banjir, nang warung ngomong banjir, arisan PKK banjir, tahun wingi-wingi loh yo podo-podo udane, tapi kok tahun iki luweh parah, seng nemen jare banjir goro-goro rakyat e seng salah soale mbuak sampah sembarangan lah, ngrusak lingkungan lah, apes men dadi wong cilik cak kok mesti dadi salah-salahan,” cerocos Rusmini. Man Gondo dan Lek Sumo hanya mampu terkekeh melihat Rusmini ngedumel tanpa henti.
“Lek aku gak ndelok ngunu e Yu, aku ndelok ben enek musibah mesti uakeh wong ngirim bantuan, tapi bantuane dibungkus gendero reno-reno, onok abang, kuning, ijo, jambon, wes pokok uakeh,” tambah Lek Sumo polos. Man Gondo sendiri memilih menikmati rokok tingwenya ketimbang larut dalam pembicaraan tiga kawannya itu. Entah karena tak mengerti apa yang dibahas, atau memang malas menanggapi. Namun, hal ini sama sekali tak pernah menjadi geger geden, diantara ke empatnya.
“Tumben Yu rodo cerdas. Masio ta udekanmu panggah ngunu ae, tapi lumayan saitik bengi iki omonganmu rodo onok benere,” goda Cak Besut.
“Lambemu Cak, ayo duduhno aku onok ta udekan seng ngalahno udekanku, orisinil Kadipaten Njomplang coy,” sewot Rusmini.
“Halah mblarah adakno bahas udekan, wes ndang tutukno olehmu cerito nabi-nabian Cak, suwi loh awak dewe iki gak tau mbok ceritani maneh,” sergah Lek Sumo.
“Mblarah piye, uteke lak mesti ngeres, iki ngunu ngomong ngudek kopi,” giliran Lek Sumo kesemprot Rusmini.
Cak Besut sedikit menggeser balai bambu yang ia duduki seraya memulai obrolan yang lebih dalam. Kadipaten Njomplang tengah berduka. Curah hujan yang cukup tinggi menjadi momok tersendiri bagi rakyat Njomplang. Sebagian besar wilayah Njomplang berada pada ketinggian dibawah 350 mdpl.
“Wonokaslam tok seng duwure sewu meter ndek atas permukaan laut,” jlentreh Cak Besut. Wilayah ndeso yang dikenal dengan gadis-gadis berparas cantiknya. Daerah nggunung yang identik dengan durian khasnya, sebenarnya juga sebagai tameng Kadipaten Njomplang dari amarah air bah. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Wonokaslam mulai bersolek. Alih-alih menyulap wilayah tertinggal jadi wilayah jujugan. Baik investor lokal maupun luar mulai melirik keindahan alami Wonokaslam. Perkebunan peninggalan belanda disulap menjadi lahan-lahan wisata alam katanya. Pohon-pohon besar di Wonokaslam yang sekitar tahun rong ewuan hampir gundul dijarah, kini makin diperparah dengan kehadiran perampok bertopeng dewa.
Wonokaslam ramai-ramai diperkosa. Hektaran hutan diratakan untuk dijadikan proyek perumahan, beberapa lekuk tubuh Wonokaslam ditato wisata-wisata modern diwarnai ragam spot selfie yang instagramable. “Duren, kopi dan kealamian Wonokaslam ditambah kebutuhan dasar menungso masa kini seng seneng selfie, jadi incaran cukong lokal bahkan luar Njomplang. Berdalih peningkatan ekonomi lokal, Wonokaslam dalam kedipan mata sudah menjadi daerah yang sexy untuk dikunjungi. Sak iki lek pengen wisata duren enek, wisata kopi lengkap, wisata nang kali, wisata nang omahe Mbahmu, wisata bajak segoro, kandang kebo kuabeh lengkap. Opo ae seng gak onok nang Wonokaslam,” tambah Cak Besut. Sebatang rokok putih terakhir mulai dia bakar. Kehadiran para Cukong yang mampu menyulap kawasan Wonokaslam dalam tempo yang relatif singkat, menurut Cak Besut tentu tak lepas dari mudahnya perijinan yang mengabaikan keselamatan hutan sebagai penampung banyu langit.
“Lek wes bahas ijin, ngarahe mesti nang politik. Karena otoritas ijin mesti dimiliki para penguasa seng notabene teko politik. Jabatane Adipati lan Wakile iku jabatan politik. Gak usah dijelasno angen-angenen dewe. Banyaknya kran pintu perijinan di Kadipaten Njomplang, kian membuat para cukong leluasa menari seng penting duite ready,” lirih Cak Besut.
Kini saat alam mulai murka dan menunjukkan kekuatannya. Wonokaslam menggeliat kesakitan. Ia tak lagi mampu menampung debit air hujan. Ribuan warga merasakan imbasnya. Ratap dan tangis wong cilik menggema dimana-mana. Alih-alih menebus dosa, musibah yang datang justru menjadi anugerah bagi para penguasa. Mereka berlomba mencari muka. Demi nafsu syahwat untuk bisa terus berkuasa. Bertopeng rasa kemanusiaan, beragam bantuan dengan bungkus bendera politik bertebaran diarea bencana. Dengan memasang wajah melas namun culas, mereka menyapa warga terimbas. “Musibah dan bencana menjadi anugerah bagi mereka. Wong seng ngerusak yo mereka dewe, begitu alam membalas jik iso ae golek kesempatan, kan dianc*k jenenge,” jare Cak Besut.
Isuk- isuk nandur pari
Pari ludes dirusak babi
Musibah bencana iku garise Illahi
Tapi jaman sak iki malah dadi komoditi
*Cerita ini hanya untuk hiburan serta fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.