JOMBANG, (kabarjombang.com) – Rendahnya harga Padi di tingkat petani di Kabupaten Jombang mengundang reaksi kalangan DPRD Jombang. DPRD melalui Komisi B yang membidangi pertanian memanggil Dinas Pertanian Jombang, Dinas Ketahanan Pangan, dan Bulog untuk hearing (dengar pendapat) di ruangan DPRD Jombang, Kamis (31/3/2016).
Para wakil rakyat mempertanyakan terkait murahnya harga padi di tingkat petani di Kabupaten Jombang yang hanya mencapai harga dibawah Harga Pokok Penjualan (HPP) pemerintah yang dibandrol dengan harga Rp 3.700 per kilogram.
“Dengan memanggil mereka semua, kita meminta penjelasan terkait anjloknya harga padi di tingkat petani yang saat ini hanya dihargai berkisar Rp 3.000 per kilo. Padahal harga HPP pemerintah mencapai Rp 3.700,” ujar Ketua Komisi B, Rahmat Abidin saat hearing.
Selain itu, mereka juga mempertanyakan terkait susahnya petani untuk menjual hasil padinya kepada Bulog. Padahal, menurut Rahmat, para petani sudah dibentuk kelompok petani (Poktan) di tingkat desa dan juga kecamatan.
“Kita juga mempertanyakan terkait gapoktan yang sudah bekerjasama dengan bulog yang di tahun 2015 mencapai 26 kelompok. Namun saat ini, hanya sekitar 5 kelompok yang bekerjasama dengan Bulog, sehingga mereka bisa dengan mudah menjual padi hasil pertaniannya,” ujar Rahmat.
Mendengar ceceran para wakil rakyat, Kepala Dinas Pertanian, Hadi Purwantoro akhirnya buka suara. Menurutnya, tidak sesuainya harga padi di tingkat petani diakibatkan beberapa faktor, seperti faktor permainan harga di tingkat tengkulak serta sistem pengelolaan pasca panen.
“Namun faktor yang paling banyak ialah karena kebanyakan petani saat dalam musim tanam hanya memiliki modal pas-pasan, sehingga mereka ingin cepat menjual padinya untuk musim tanam berikutnya. Hal itu yang membuat mereka tidak bisa mempertahankan harga padinya sesuai dengan HPP yang ditetapkan pemerintah,” ujar Hadi.
Hadi menjelaskan, berkurangnya Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) yang bekerjasama dengan Bulog untuk mempermudah menjual hasil panennya, disebabkan karena semua kelompok yang awalnya sudah bekerjasama dengan Bulog tidak memiliki modal besar. Sehingga mereka tidak bisa menampung semua hasil padi para anggotanya untuk mengelola dan menjual padinya kepada Bulog.
“Hal yang banyak menjadi kendala ialah modal para Gapoktan yang tidak memiliki modal besar. Sehingga mereka tidak bisa lagi menampung hasil padi anggotanya. Sebab, minimal modal yang dibutuhkan untuk Gapoktan agar bisa menjual padi mereka ke Bulog mencapai Rp 150 juta,” paparnya.
Namun saat ini, pihaknya mengaku sudah mempermudah Gapoktan untuk bisa menjual hasil produksi padinya ke bulog. “Saat ini, persyaratan untuk Gapoktan agara bisa menjual padinya di Bulog hanya dengan minta surat rekomendasi kepada kita (Dinas Pertanian,red). Dengan begitu, mereka sudah bisa menjual hasil padinya tanpa takut mengalami kerumitan menjual padinya di Bulog,” tegas Hadi saat di gedung DPRD. (ari)