KABARJOMBANG.COM – Mulusnya usulan Dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) untuk wakil rakyat di DPRD Jombang, dalam pengesahan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD), memicu kecurigaan pengamat publik soal urgennya dana Pokir yang menggunakan uang rakyat untuk program DPRD Jombang.
Sejumlah pengamat mengaku, tidak yakin jika dana pokir yang mencapai Rp 15 Miliar, benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat oleh wakil rakyat.
Seperti yang disampaikan Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LinK), Aan Anshori, Rabu (12/9/2018). Menurutnya, dana Pokir itu instrument yang isinya sudah ada dalam RPJMDesa. Sehingga, tidak perlu dikemas dengan program lain bernama Pokir.
“Nah, Pokir itu kan instrument sudah ada dalam RPJMDesa, ngapain harus ada dana lagi? Menurutku, anggota DPRD bisa tetap melakukan serap aspirasi melalui banyak cara yang selama ini telah dilakukan. Ia menilai, dari aspek transparansi dan akuntabilitas, model alokasi dana pokir ini sangat rawan korupsi. Itu sebabnya, banyak anggota DPRD yang memang sejak awal bermental koruptif, tergoda untuk melakukannya. Contoh paling nyata, ya di DPRD di Kota Malang. Puluhan legislator lokal ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Dengan dalih dan sistem korup uang sama,” katanya.
Seharusnya, lanjut Aan, ini menjadi pelajaran penting bagi Pemkab dan DPRD Jombang, agar lebih berhati-hati lagi. Sebab, selama ini kinerja transparansi dan akuntabilitas DPRD Jombang terbilang sangat menyedihkan.
“Aku juga mendesak agar Plt Bupati Jombang menimbang ulang keberadaan pos Pokir. Dana pokir digunakan sebagai dana pengantar program pokok pikiran untuk menyerap aspirasi rakyat melalui wakil rakyat. Sejauh ini, apakah Anda melihat adanya manfaat untuk rakyat melalui program pokir yang dulu bernama Jasmas. Saya kira, masyarakat tidak akan merasakan program tersebut,” sambungnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, adanya kasus “korupsi berjamaah” yang dilakukan DPRD Malang dengan modus program Pokok-pokok Pikiran (Pokir) yang menyeret 40 Anggota DRPD-nya, menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini ramai diperbincangkan di publik.
Seperti di kutip Tirto.id, Bau busuk kongkalikong pejabat Malang terendus pada 6 Juli 2015, sebelum rapat paripurna. Ketika itu, Walikota Malang Moch Anton, Wakil Walikota Malang Sutiadji, Kepala Dinas PUPPB Kota Malang Jarot Edy Sulistyono, dan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono, bertemu di ruang kerja Arief.
Di sana, Arief meminta uang dengan istilah pokok-pokok pikiran alias Pokir. Kesepakatan jahat itu terjadi. Eksekutif akan memberi persekot, dan sebagai imbalan legislatif kudu meloloskan nominal anggaran yang diajukan.
KPK menyebut Eksekutif Pemkot Malang itu menyuap, agar DPRD menyetujui anggaran sejumlah proyek Multiyears (tahun jamak), diantaranya proyek drainase dan Islamic Center yang tengah dalam proses pembangunan.
Modus penggunaan dana Pokir yang menyeret 40 DPRD Malang, ternyata juga diusulkan oleh DPRD Jombang kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang. Di DPRD Jombang, program Pokok Pikiran (Pokir) dimasukan dalam Perubahan Anggran Keuangan (PAK) atau P-APBD tahun 2018. Nilai yang diusulkan, cukup fantastis, yakni mencapai angka Rp 15 Miliar.
“Kita memang mengusulkan karena DPRD itu setiap serap aspirasi kan punya usulan dari masyarakat. Sehingga, kita usulkan lagi kepada Bupati untuk diakomodir menjadi usulan yang bisa dimasukkan melalui PAK (2018) ini,” ujar Ketua DPRD Jombang saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Angka miliaran rupiah ini, diusulkan berdasarkan jumlah anggota DPRD Jombang yang mencapai 50 pimpinan dan anggota. Nah, setiap anggota nantinya akan mendapatkan jatah dana Pokir sebesar Rp 300 juta per orang.
Untuk bisa menggunakan dana tersebut, anggota DPRD hanya cukup mengusulkan proposal melalui Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) eksekutif sesuai “leading sector” masing-masing.
Meski begitu, Joko berharap setiap anggota DPRD yang menggunakan dana pokir harus digunakan secara benar.
“Saya hanya menyarankan bahwa usulan yang diusulkan teman-teman, harus sesuai prosedur. Dalam arti, kalau misalnya Kelompok Masyarakat (Pokmas), harus dicek betul sesuai dengan aturan perundangan. Mungkin dia sudah mempunyai badan hukum, sesuai apa yang dikehendaki APBD,” katanya. (aan/kj)