JOGOROTO, KabarJombang.com – Hari Jadi Pemkab Jombang yang diperingati tanggal 21 Oktober, kini sudah ke-110 tahun. ternyata memiliki perjalanan yang tidak banyak orang ketahui. Hal ini seperti diungkap pemerhati sejarah Jombang, Dian Sukarno.
Dian menerangkan, dipilihnya 21 Oktober 2020 sebagai hari jadi ini lebih kearah tetenger atau penanda hari jadi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang, bukan hari jadi Jombang-nya. Sesuai dengan SK atau pengangkatan oleh Kanjeng Sepuh atau Raden Adipati Aryasuryodiningrat V (keturunan ke XV dari Brawijaya V) sebagai Bupati Jombang pertama. Setelah terpisah dari Kadipaten Regenjapan, Mojokerto.
Yang harus menjadi spirit, kata Dian, bukan hari jadinya. Namun, ada peristiwa apa pada tanggal itu. Begitu juga, bagaimana terbentuknya Jombang sehingga bisa berkembang seperti saat ini, dimana penandanya seperti saat manusia itu dilahirkan.
“Jadi semacam boster untuk bagaimana kita melangkah ke depan. Maka lagi-lagi, apapun itu istilahnya hari jadi atau tetenger atau haul atau lainnya, yang terpenting adalah makna dibalik peristiwa itu,” ujar Dian kepada KabarJombang.com, Rabu (21/10/2020).
Dia menceritakan secara singkat pencarian atau penelitian panjang untuk menentukan hari jadi Jombang, Dulu, kata Dian, ada beberapa penelitian mulai dari kerjasama antara kantor Parbupora dengan UGM dan Puslit Arkenas yang meneliti tentang Airlangga.
Pertama, berpatokan pada berpindahnya Wangsekara atau Dinasti Isanawangsa yang digagas Empu Sindok dari Jawa Tengah, kipo pitu menuju Itamelang yang diduga Tembelang Jombang pada tahun 929 M yang berdasarkan penanggalan prasasti di Watugudek, Turen, Tumpang, Malang.
Kedua, Empu Sindok memindahkan kerajaan tersebut ke Watugaluh pada tahun 937 M. Dengan prasasti penandanya adalah Anjuk Ladang Nganjuk dan Paradah Kediri, yang merupakan poin dari Empu Sindok.
Untuk poin dari Airlangga, Jombang juga sangat berperan. Namun, pada saat itu dicari yang paling tua. Tetapi antara Empu Sindok dengan Airlangga, kedua tidak jadi dipakai, karena belum munculnya nama Jombang di sana.
“Itulah yang kemudian, barangkali karena yang terakhir saya tidak terlibat. Dalam hal ini Pemkab Jombang bersama DPRD memutuskan untuk menggunakan tanggal 21 Oktober ini sebagai penanda atau tetenger hari jadi Pemkab Jombang,” ulasnya.
Sementara itu, perkembangan Kabupaten Jombang dari waktu ke waktu dengan melihat dari sisi seni budaya dan sejarahnya, menurutnya, masih standar.
“Tetapi ada satu harapan baru sebenarnya, setelah terbentuknya tim PKKAD untuk pengawalan tentang sejarah dan seni budaya kearifan lokal tentang perhatian terhadap situs-situs, peninggalan. Ya, semoga ke depannya bisa meningkat lagi,” ungkapnya.
Dalam mempertahankan budaya Jombang, Dian menandaskan, yakni dengan cara mencontohkan negara Jepang yang sampai saat ini masih mempertahankan budaya Kabukinya. Nah, di Jombang, kata Dian, ada Besutan yang juga harus dipertahankan.
“Dalam strategi pengembangan, saya pikir ada pelestarian dalam ranah mencari ke originalitas dari produk kesenian. Jadi semisal besutan yang awalnya dulu pakai bebet saja, ya sudah itu, besut secara orisinil. Tapi juga ada wilayah pengembangan yang kemudian nanti memunculkan ekonomi kreatif dan sektor-sektor pariwisata. Dan bagaimana caranya, ya tinggal kita saja. Jadi kalau kita mau ngopeni (merawat), ya berarti harus ada kepedulian dari lintas stakeholder. Sehingga bagaimana produk kesenian itu bisa menjadi jati diri dan semacam kebanggaan, ikon yang bisa menguatkan identitas sebuah bangsa tentunya,” paparnya.
Dikatakannya, potensi Jombang ini multi, salah satunya dari potensi sejarah, yang dilihat dari history ke landscape, bahwa setiap bentang tanahnya mengandung sejarah yang terbukti pada abad 10 sampai Orde Baru. Dari hasil penelusurannya itu muncul nama desa, belum lagi peninggalan artofaktual, banyaknya benda-benda arkeologi.
“Dalam hal ini, apapun yang dimiliki Jombang, baik itu dari sisi seni, potensi budaya, sejarah, kuliner itu, harus kita rawat. Sehingga tidak sampai ada yang terlewatkan,” ujarnya.
Ikon Jombang sendiri, kata Dian, bisa dilihat dari beberapa sisi. Seperti dari sisi teaternya, maka lebih ke besutan, jaranan dor, jidor sentulan dan sebagainya. Kalau kata Jombang sendiri, menurutnya, berasal dari Ijo dan Abang. Namun, ia mengimbau agar tidak dimaknai seperti Ijoan, Abangan. Sehingga, menjadi dikotomi, pemisahan, dan akan semakin rancu alias tidak jelas.
“Saya pikir spiritnya saja lah. Ijo dan Abang itu dimaknai sebagai Agamis dan Nasionalis, ketemunya dua kutub kebangsaan. Di mana kekuatan bangsa ini berada disini,” jelasnya.
Dian menambahkan, adanya tetenger atau hari jadi Jombang ini, bisa dikembangkan menjadi Jombang lebih baik, menarik, dan tentunya memiliki daya pikat tidak hanya lingkup lokal tetapi juga internasional. Selain itu, pengungkapan ada apa di balik peristiwa 21 Oktober secara gamblang.
“Seperti dikatakan Gus Mus yang seringkali saya ulang, bahwa Bupati tolong teliti airnya Jombang sampai diulang tiga kali. Karena di sini lahir tokoh-tokoh besar tidak hanya nasional bahkan internasional. Maka, Cak Nun juga mengatakan, Jombang itu sebagai kakean macan kurang alas,” kata Dian Sukarno.
“Untuk hari jadi Kabupaten Jombang, saya ucapkan selamat. Dan satu hal, kita bisa meneladani tokoh-tokoh seperti Kanjeng Sepuh atau pendahulu, Founding Fathers-nya Jombang. Sebagaimana yang dikatakan Bung Karno, Jasmerah, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Sebagaimana budaya Jawa, sejarah adalah Seja Neng Arah atau kompas masa depan,” terangnya lebih jauh.