Pagi ini Cak Besut terus memainkan gadget miliknya. Ia berselancar di dunia maya, mengintip informasi dunia dari jendela yang bisa dibawa kemana-mana. Matanya tertuju pada sebuah berita di pesbuk. Tentang ‘Adipati Muntiah berbagi mobil di tengah wabah mendera’. Berita ini semakin menarik perhatian Cak Besut, karena dalam tempo singkat telah ditanggapi dan dikomentari ratusan pembaca.
Cak Besut pun mencoba memainkan kursor untuk sekedar melongok berbagai komentar yang ada. Dia dibikin kaget dengan ragam umpatan atas tindakan Adipati, yang konon dikatakan ‘jimat’ e EnO itu. Berbagai kata kasar bahkan pisuhan khas Suroboyoan bertebaran.
Cak Besut hanya bisa mengernyitkan dahi.
Tak tahukah para tukang paido ini, mereka tengah misuhi siapa ? Tak sadarkah umpatan kasar mereka ditujukan siapa ? Atau justru mereka sudah mengerti siapa lawan yang dihadapi ? Setelah membaca isi berita tadi secara tuntas, Cak Besut akhirnya ikut menyadari. Tak salah jika para penghujat tak peduli siapa yang mereka hujat. Hilangnya nurani sang Adipati, Mati nya empati sang putri kiai ditengah pandemi, menjadi alasan tersendiri. Lunturnya kesakralan jimat EnO, karena ulah Adipati sendiri.
Sebagai pengasuh pesantren, Putri dari almarhum ulama besar, Muntiah paham jika seluruh santri akan hormat dan manut apa kata dia. Di kalangan sarung ini pula dia mungkin ‘jimat’ yang sakral. Hingga perlakuan dan perawatannya harus berbeda. Segala perkataan dan perbuatan dia merupakan titah yang harus dilaksanakan. Sabdo nya merupakan berkah bagi para santri. Jangankan melawan, menatap wajahnya pun tak akan berani dilakukan.
Tapi lupakah dia, belum sadarkah dia, ‘jimat’ itu kini duduk sebagai Adipat. Pemimpin bagi seluruh lapisan masyarakat. Bukan lagi panutan kaum sarungan semata, tapi juga pemimpin kaum abangan, putihan bahkan kaum hitam sekalipun. Di kaum embongan, mereka tak peduli siapa Muntiah, ora ngurus anak e ulama, ora ngreken wong pondokan. Yang mereka tahu, Muntiah adalah Adipati Kabupaten Njomplang. Segala kebijakan harus bisa dirasakan secara menyeluruh bagi segala kalangan bukan segelintir golongan.
Tak ada yang salah ketika Muntiah berbagi mobil yang dibeli dari uang rakyat tersebut. Berbagai aturan memperbolehkan hibah mobil ini. Meski tak ada yang dilanggar, lupakah sang Adipati dengan pandemi ini. Mbok yo o mben lek wes wayahe corona buyar. Lek wes ekonomi ne rakyat pulih. Lek wes wargane kerjo ne lancar. Bah anak putu e dikek i mobil plat abang, bah konco-konco ne digawani truk e kadipaten, tak akan ada gelombang protes yang berlebihan seperti sekarang.
Disaat warga tak lagi bisa bekerja, disaat orang miskin menangis karena corona, disaat data bantuan berseliweran tapi tak kunjung nyata, Justru sang Adipati dengan pongah menyiarkan kepada warga. Dia sedang bahagia, apalagi sekarang bulan puasa. Beramal mobil adalah bentuk ibadah. Meski hanya untuk beberapa golongan saja. Salahkah para warga yang menghujat sang Adipati ? Tak elokkah para netijen misuhi sang putri kiai ? Ahhh…suuuudaahlah Adipati yang lebih mengerti…
Kondisi yang terjadi di Kadipaten Njomplang mengingatkan Cak Besut akan sosok Cak Silo, komedian yang dikenal ngeyelan dan jarang ‘memakai’ otak dalam segala ucapan dan tindakan. Antara Muntiah dan Cak Silo seolah tak jauh beda. Cak Silo senengane ngepekan, Muntiah juga dikenal ngepekan. Cak Silo otaknya jarang dipakai, Muntiah malah sengaja tak dipakai. Kalau Cak Silo pemeran parodi pendek di channel Yutup, Muntiah juga sering jadi lakon Republik Besut.
Ngombe kopi camilane jadah
Awan-awan nang sawah dipangan bareng Markona
Duwe Adipati koyok iki ngunu anugerah ta bencana
Bagi-bagi hadiah kok pas musim corona
*Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.