Hibahkan Diri di Pesantren, Santri Asal Kalimantan Ini Betah Tak Pulang Kampung

Ket foto : Muhammad Syukron (kiri pada foto) saat melakukan tes baca tulis Al-Quran ke santri. 
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Kisah hidup santri, mulai dari kepercayaan ilmu sudah menempel jika terkena Gudik dan barokah ilmu, Muhammad Syukron (27) santri Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, hibahkan diri belajar di pondok selama mungkin.

Syukron sapaan akrabnya ini merupakan warga Sampit, Kalimantan Timur. Pria yang sampai hari ini masih tinggal di asrama dan menjadi pembina santri di salah satu asrama di Darul Ulum ini, menghibahkan diri untuk takdim dan belajar di pondok selama mungkin.

Baca Juga

Menjadi santri, bagi Syukron adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Menurutnya, tidak banyak anak-anak yang mondok dan betah berlama-lama di pondok. Namun, ia membulatkan tekad untuk tetap bertahan di pondok meskipun sudah menyelesaikan kewajiban sekolah dan kuliahnya.

“Di pondok bagi saya adalah tempat belajar dan menempa diri. Disini saya banyak mendapatkan ilmu, menjadi anak yang mandiri, bertanggung jawab dan disiplin dalam hal apapun,” ucapnya saat dikonfirmasi wartawan pada Rabu (26/10/2022).

Dirinya yang sudah berada di pondok sejak tahun 2013 itu, memulai langkah mondok dengan bersekolah di salah satu sekolah di Pondok Darul Ulum. Tidak puas hanya bersekolah dan merasa ilmu yang didapat masih kurang, ia melanjutkan untuk berkuliah di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang.

Sejak tahun 2013 hingga 2022 sekarang, Syukron terus menetap di pondok tanpa pernah kembali ke tempat kelahirannya yakni Kalimantan. “Pernah pulang cuma hanya sekali atau dua kali saja. Bahkan kalau puasa dan lebaran pun saya tidak pulang ke Kalimantan. Tapi di pondok saja,” ungkapnya.

Rasa rindu dengan orang tua sudah pasti ia rasakan. Namun, itu tidak menjadi kendala bagi Syukron, karena saat ini zaman dan tekhnologi sudah canggih. Hanya dengan menelepon dan video call saja sudah cukup baginya untuk melepas rindu kepada orang tua.

Terlebih, jika uang jajan yang dikirimkan oleh orang tua waktu itu telat. Otomatis, dirinya harus pintar-pintar menghemat pengeluaran. Meskipun ia tetap meyakini, jika dengan niat tulus untuk belajar, hal seperti makan dan lainnya pasti sudah ada yang mengatur.

“Awalnya saya datang ke pondok itu yah sama seperti perasaan anak-anak lainnya. Sedih, jauh dari orang tua, apalagi saya waktu itu tidak terlalu fasih berbahasa Jawa, jadi yah sempat homesick juga. Tapi lama-lama akhirnya terbiasa,” katanya.

Mondok hampir berjalan sepuluh tahun, membuat Syukron merasa dirinya termotivasi untuk terus belajar dan menggali ilmu. Entah ilmu agama atau ilmu dunia. Bahkan, Syukron mempercayai satu kepercayaan ketika berada di pondok.

“Di pondok ada stigma yang mungkin saya percayai. Bahwa jika seorang santri sudah terkena penyakit kulit atau kalau anak santri menyebutnya Gudik, berarti santri tersebut bisa meresap ilmu dan barokah ilmu tersebut tertanam dalam diri santri. Tapi tetap, kalau di dalam pondok ada himbauan untuk hidup bersih dan rapi,” jelasnya.

Bagi Syukron, menjadi santri bukanlah hal buruk. Dirinya merasa bangga menjadi santri, selain bisa merubah diri menjadi lebih baik, Ia pun percaya, lebih lama di Pondok maka setiap ilmu yang didapatkan juga akan semakin barokah.

“Intinya kita diajari bagaimana memaknai hidup, terus bersyukur dalam keadaan apapun. Jangan mengeluh, karena semua sudah ada yang mengatur dari sana. Saya percaya itu,” pungkasnya.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait