JOMBANG, (kabarjombang.com) – Sepanjang tahun 2015, tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan di Kabupaten Jombang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Korban paling banyak dialami pada anak-anak. Sedangkan pelaku kekerasan tersebut, sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat korban.
“Jika dirata-rata, terdapat dua sampai tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap bulan,” ujar Palupi Pusporini, Direktur Women Crisis Centre (WCC), lembaga yang mendampingi kasus kekerasan yang ada di Kab. Jombang, Selasa (5/1/2016).
Berdasarkan data tersebut, kasus yang masuk dalam pendampingan WCC Jombang menyebutkan, jumlah kekerasan seksual pada 2014 sebanyak 29 kasus. Namun, pada tahun 2015 meningkat menjadi 36 kasus.
Menurut Palupi, berdasarkan pemetaan yang dilakukan, sebanyak 85 persen korban kekerasan seksual masih berusia dibawah usia 18 tahun. Sementara itu, 90 persen pelaku kekerasan merupakan orang dekat korban. Seperti orang tua, saudara, pacar, teman dan tetangga. Ironisnya, dalam menjalankan aksinya, beberapa pelaku kerap menebar ancaman dan melakukan intimidasi, serta berbagai rayuan.
Kekerasan seksual, lanjut Palupi, memerlukan penanganan menyeluruh tanpa penundaan. Pasalnya, setiap orang rentan menjadi korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak, baik anak laki-laki, terlebih lagi anak perempuan.
Dirinya juga mengatakan, naiknya angka kasus tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah lemahnya aturan dan sistem hukum yang berlaku. Banyak pelaku yang hanya dijatuhi vonis minimal, yakni 5 tahun penjara. Selain itu, juga soal aturan pembuktian yang cenderung menyulitkan korban.
“Aturan pembuktian yang ada saat ini sangat menyulitkan korban untuk mengakses keadilan. Nah, hal itu menyebabkan terjadinya impunitas pelaku. Belum lagi banyaknya pelaku kekerasan seksual yang dipidana dengan vonis hukuman minimal, yakni 5 tahun. Artinya, aturan dan sistem hukum yang ada saat ini tidak cukup untuk mencegah kasus kekerasan seksual, menghukum para pelakunya, melindungi hak-hak para korbannya,” paparnya.
Sebab itu, WCC mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas prioritas di tahun 2016. Payung hukum yang komprehensif diharapkan akan mengatasi persoalan sistem peradilan pidana dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta ketidaktersediaan layanan yang komprehensif bagi korban, keluarga dan komunitasnya.
Terlepas dari itu semua, WCC juga membeber kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terjadi di Kota Santri. Rinciannya, pada 2014 kasus KDRT mencapai 30 kasus, namun pada 2015 angka tersebut turun menjadi 27 kasus.
Sementara persoalan traficking (perdagangan anak) pada 2014 sebanyak satu kasus, sedangkan tahun 2015 tidak ada sama sekali.
“Demi mewujudkan Jombang yang ramah terhadap perempuan dan anak, maka tugas negara melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk membangun sistem pencegahan dan penanganan terpadu yang berorientasi pada pemenuhan hak korban kekerasan seksual atas kebenaran, keadilan dan pemulihan,” pungkas Palupi. (ari)