JOGOROTO, KabarJombang.com – Tahun 2020 ini, sudah 92 tahun Sumpah Pemuda menjadi tonggak pemersatu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia dalam pergerakan kemerdaan. Sejak hari itu, tiga sumpah tersebut digunakan sebagai bentuk persatuan, utamanya penggunaan bahasa Indonesia.
Pemerhati sejarah asal Jombang, Dian Sukarno menerangkan, sebelum peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, tokoh-tokoh pergerakan seperti Bung Karno, RMP Sosrokartono (kakak RA Kartini) merupakan tokoh paling keras menolak penggunaan bahasa non-Melayu (bahasa Jawa) sebagai bahasa pemersatu.
“Jika waktu itu ngotot bahasa nasional menggunakan bahasa Jawa, misalkan, bisa. Karena kekuatan para aktivis Jawa saat itu mendominasi,” ujar Dian kepada KabarJombang.com, Rabu (28/10/2020).
Namun, tokoh-tokoh nasional seperti RMP Sosrokartono, Bung Karno dan lainnya menolak bahasa Jawa sebagai bahasa pemersatu. Karena pertimbangannya, bahasa Melayu sudah dipakai hampir seluruh suku bangsa di Indonesia sebagai bahasa pengantar harian antar suku.
Usulan penetapan bahasa Melayu, terjadi pada Kongres Pemuda I, yang dilaksanakan di Batavia pada 1926. Sanusi Pane lah yang pertama kali mengusulkan untuk menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang merupakan embrio Bahasa Indonesia. Namun penetapan saat itu, gagal.
Dua tahun kemudian, yakni pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, usulan Sanusi Pane akhirnya diakomodir dan ditetapkanlah Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia. Dan untuk pertama kalinya, Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Medan, 28 Oktober 1954.
Pada Kongres Pemuda II atau peristiwa sumpah pemuda, juga diwarnai dengan lagu Indonesia Raya karangan Wage Rudolf (WR) Supratman, yang dilantukan dengan tiga Stanza untuk pertama kalinya.
Sumpah pemuda, lanjut Dian Sukarno, ada tiga ranah yakni bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.
“Nah, intinya adalah berbangsa berarti orangnya, tanah air berarti tumpah darahnya, tempat kelahirannya, dan yang pengikatnya adalah menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” paparnya.
Terbentuknya sumpah pemuda, menurut Dian, berawal dari perjalanan panjang atas keresahan dan kegelisahan tokoh-tokoh pergerakan aktivis muda, jauh sebelum tahun 1908 atau lahirnya Budi Utomo.
“Jadi sebenarnya, sumpah pemuda adalah titik kulminasi atau titik puncak dari kegelisahan aktivis pergerakan pemuda. Karena posisi Indonesia belum berdiri, kemudian masih di bawah tekanan penjajahan Belanda. Sehingga, banyak aktivis kepemudaan baik di dalam negeri maupun luar negeri itu terus berkomunikasi, bagaimana pun caranya,” ungkapnya.
Untuk memperingati hari sumpah pemuda, khususnya bagi kaum muda, menurut Dian Sukarno, perlu adanya intropeksi diri atau menanyakan pada diri sendiri.
“Seperti menanyakan, sudahkah kita menjadi orang Indonesia, dalam hal ini bangga atas ke-Indonesia-an kita, berbangga dengan kearifan lokal, berbangga dengan apapun yang kita miliki sebagai orang Indonesia. Lalu, sudahkah kita bersumbangsih kepada tanah kelahiran kita, berdasarkan bidang yang ditekuni. Dan sudahkan kita setelah berkomitmen menjadi orang Indonesia dengan berbahasa yang baik dan benar,” ucapnya.
“Karena jika kita kembali merevitalisasi sumpah pemuda, maka tiga ranah ini menjadi PR besar kita sebagai pemuda dan bangsa Indonesia secara lebih luas,” sambung Dian.
Ia juga sempat menyinggung terkait peringatan sumpah pemuda di tengah pandemi Covid-19 ini, termasuk sebagai ajang untuk retrospeksi dalam mengulang pandangan-pandangan anak bangsa.
“Memang terkesannya bombastis, bombastis tapi realistis, saya bilangnya. Dan memang perlu untuk bombastis berkata-kata, tindakan, cita-cita. Seperti perkataan Bung Karno lagi, bahwa gantungkan cita-citamu setinggi langit, jika kalian jatuh, akan jatuh di antara bintang-bintang,” tandasnya.
Dian kembali melantunkan perkataan bapak bangsa yang lain, yakni “Sediakan aku seribu orang tua akan aku pindah semeru pada akarnya. Tapi sediakan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan dunia”.
“Tetapi pemuda yang visioner, tidak pemuda yang ala bebek, ke sana, kemari, tidak punya pendirian. Visioner dalam artian, ya, jadilah seperti rajawali. Walaupun sendiri, tapi terbang tinggi,” tangkasnya.