JOMBANG, KabarJombang.com – Kebijakan penghapusan tunggakan piutang PBB oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang, memantik kritik dari berbagai pihak.
Salah satunya pengamat kebijakan publik yakni Direktur Lingkar Masyarakat untuk Indonesia (Link) Kabupaten Jombang, Aan Anshori. Ia mengatakan kebijakan Pemkab Jombang tersebut tidak transparan.
“Sejak awal saya juga merasa kaget dengan adanya kebijakan penghapusan tunggakan piutang PBB oleh Pemkab Jombang,” ucapnya saat dikonfirmasi wartawan pada, Senin (3/7/2023).
Menurutnya, yang tidak bisa dielaborasi yakni, atas dasar apa, pertimbangan apa dan apakah ada segi politis dan finansial apa dari munculnya kebijakan ini? Karena, baginya kebijakan ini semuanya memang belum jelas.
“Karena penghapusan piutang yang menjadi hak negara itu menurut saya tidak semudah itu. Perlu adanya kajian implementasi hukum terhadap adanya kebijakan itu,” katanya.
“Nah ini yang tidak dijelaskan, akhirnya publik juga masih blank (bingung) dari kebijakan ini. Banyak pertanyaan, ini daerah mana saja yang hutang, desa mana saja yang hutang, kok bisa ada hutang dari dulu loh dan baru muncul sekarang?,” ujarnya menambahkan.
Aan juga menganalogikan kebijakan ini sebagai sebuah cerita, dimana ada orang dari langit yang secara tiba-tiba ingin berbuat baik.
“Ini kan tidak transparan, ibaratnya seperti ada orang baik yang tiba-tiba turun dari langit ingin melakukan kebaikan dengan menghapus semua hutang itu, yang asumsinya hutang-hutang itu dilakukan oleh desa-desa itu,” ungkapnya.
Hal lain yang juga ia soroti adalah banyak desa, khususnya di Kecamatan Bandar Kedungmulyo yang kepala desanya menolak melakukan tandatangan pengajuan penghapusan hutang PBB.
“Artinya begini, piutang itu timbul karena hutang, pemerintah kabupaten ingin menghapus uang pemerintah kabupaten yang itu masih dianggap hutang oleh pemerintah kabupaten,” katanya.
“Berarti disini ada pihak yang masih berhutang, dalam hal ini desa. Karena mis informasi dan tidak transparan ini, kemudian kepala desa di Kecamatan Bandar Kedungmulyo yang melakukan resistensi dan tidak mau melakukan tandatangan,” ucapnya melanjutkan.
Sebab, jika desa melakukan tandatangan, maka secara tidak langsung desa mengakui bahwa desa tersebut punya tunggakan.
“Nah bagi saya ini agak aneh, karena bagi desa yang tidak mau tandatangan itu tidak merasa kalau mereka punya hutang,” jelasnya.
Menurutnya, kebijakan ini bermasalah dan ia mendukung langkah apa yang dilakukan desa-desa untuk menolak persetujuan tandatangan pengajuan penghapusan tunggakan hutang PBB itu.
“Jangan mau dijadikan kaki tangan untuk hal-hal yang memang belum jelas. Siapa yang berani menjamin, misalkan tidak ada persoalan hukum di kemudian hari, karena praktik seperti ini memang rawan dengan praktik korupsi,” tuturnya.
Supaya clear, ia menyarankan agar kebijakan penghapusan piutang ini ditunda dulu dan bisa di konsultasikan dengan Kemenkeu (Kementrian Keuangan) terkait dengan juknisnya serta boleh atau tidaknya.
“Kemudian ini juga hal yang menjadi wajib yang harus dilakukan Pemkab Jombang, yakni berdiskusilah dulu dengan dewan dalam hal ini Komisi A DPRD Jombang,” katanya.
Supaya apa? tanyanya, supaya ada support politik. Agar nantinya kebijakan ini bisa menjadi lebih jelas karena sudah didiskusikan dengan dewan.
“Selain itu, saya rasa Pemkab Jombang juga perlu untuk menggandeng KPK, Kejaksaan terkait persoalan ini. Saya khawatir, yang awalnya kebijakan ini harusnya baik, malah menyeret ke persoalan yang baru,” ujarnya.
“Mungkin saja terjadi, uang piutang itu tadi bisa jadi gagal bayar, atau sudah dibayarkan tapi tidak sampai ke tujuan, bisa dikorupsi dan lain sebagainya,” tambahnya.
Disini, katanya, Pemkab Jombang harus lebih transparan ke publik. Supaya tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
“Kalau bisa buat tabel sampaikan ke publik, tunggakan piutang PBB dari tahun 2002 – 2014 itu desa mana saja yang menunggak, sampaikan itu. Jangan sampai dan yang saya khawatirkan adanya politisisasi kebijakan. Karena kita ketahui bersama bahwa tahun ini memang tahun-tahun politik,” pungkasnya.