JOMBANG, KabarJombang.com – Regulasi hukum kekerasan seksual belum jelas, Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang, menyerukan regulasi khsusus Undang-Undang Kekerasan seksual.
Palupi Pusporini, Direktur WCC Jombang, menyebut regulasi khusus itu penting, agar tidak ada kekosongan hukum. “Kalau untuk regulasi kekerasan tidak berjenis kelamin. Seperti KDRT, KUHP juga tidak berjenis kelamin. UU KDRT juga tidak mengatur terkait jenis kelamin tertentu,” jelasnya kepada KabarJombang.com, Jum’at (10/1/2019).
Menurut Palupi, contoh kasus kemendesakan regulasi itu bisa di-sampling di Jombang. Dia menyebut sepanjang tahun 2019 saja WCC menangani 82 kasus kekerasan dan 43 kasus kekerasan seksual. Kebanyakan dari korban kekerasan tersebut adalah perempuan.
“Seperti contoh ada penelantaran, penyidik tidak punya ukuran. Yang dikatakan penelantaran itu seperti apa. Apakah penelantaran selama 2 bulan atau 3 bulan tidak dinafkahi,” ujarnya.
Sementara, lanjut Palupi, regulasi yang dikenali selama ini adalah kekerasan dan pencabulan. Bentuk kekerasan yang lain belum termasuk.
Oleh karena itu, dikatakannya, muncul 9 bentuk kekerasan seksual yang mungkin bisa diakomodir dalam RUU penghapusan kekerasan seksual.
“Dari sembilan aduan yang ditemukan lembaga layanan, ada tujuh kasus kekerasan yang ditemukan oleh lembaga pengaduan layanan di seluruh Indonesia, seperti contoh di aceh itu ada perkawinan paksa. Itu sudah termasuk,” ungkapnya.
Lebih lanjut, sembilan bentuk kekerasan seksual ini, nantinya bisa di akomodir menjadi badan hukum dan regulasi yang pasti.
Kesembilan jenis kekerasan tersebut yakni pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Karena itu, sederhananya, ia berharap sembilan bentuk kekerasan seksual ini bisa di akomodir di UU KUHP maupun KDRT, menjadi badan hukum dan regulasi khusus yang pasti. “Agar tidak ada kekhawatiran lebih akan meningkatnya kekerasan seksual ini,” pungkasnya.