JOMBANG, KabarJombang.com – Kasus gratifikasi yang melibatkan 8 perangkat desa dari tiga desa berbeda di Kecamatan Kabuh, Jombang, saat ini jadi headline menarik di laman media massa.
Ditetapkannya delapan perangkat desa dari tiga desa berbeda sebagai tersangka atas kasus dugaan gratifikasi pendirian pabrik GRC Board itu, kini menimbulkan tanda tanya.
Pasalnya, kedelapan tersangka yang diduga menerima gratifikasi itu ditetapkan sebagaimana tersangka, sementara pemberi gratifikasi tidak tercium status hukumnya.
Penyidik Tindak Pidana Korupsi Satreskrim Polres Jombang sendiri memang telah mengungkap kasus dugaan gratifikasi pendirian pabrik GRC Board, di Kabupaten Jombang.
Menjawab hal ini, kabarjombang.com, mencoba mengkonfirmasi Edi Haryanto, S.H., M.H, yang berprofesi sebagai pengacara sekaligus seorang praktisi hukum.
Menurut Edy, dalam kasus tersebut, seharusnya, bukan hanya penerima gratifikasi saja yang mendapatkan status sebagai tersangka, namun pihak pemberi juga harus mendapatkan status yang sama.
“Dalam konteks gratifikasi, antara penyuap dan yang disuap seharusnya sama-sama dijadikan tersangka. Karena perbuatan keduanya yang akhirnya membuat kerugian negara,” ucapnya saat dikonfirmasi, pada Kamis (15/6/2023).
Edy menjelaskan lebih lanjut, karena kasus gratifikasi tidak mungkin ada, jika satu peristiwa yang melibatkan keduanya tidak terjadi.
“Kan tidak mungkin terjadi peristiwanya, ketika tak ada pelaku dari dua pihak,” ungkapnya.
Lantas, siapakah yang menerima sanksi akibat gratifikasi? Si penerima gratifikasi saja atau pemberi gratifikasi.
Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
Pasal 5 UU Tipikor itu berbunyi
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Sedangkan di Pasal 12 UU Tipikor berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Yang dimaksud dengan penyelenggara negara disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
“Penyelenggara negara yang dimaksud itu seperti Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.
“Keduanya bisa dikenakan pasal dan menjadi tersangka,” ujarnya menambahkan.
Sebagai informasi, karena diduga terima gratifikasi proses jual beli tanah, delapan perangkat desa di Kabupaten Jombang ini jadi tersangka korupsi.
Untuk diketahui, delapan perangkat desa ini berasal dari tiga desa berbeda di wilayah Kabupaten Jombang.
Kedelapan perangkat desa tersebut yakni GRF dan ANK, perangkat Desa Karangpakis, J, N dan S, perangkat Desa Manduro dan W, S dan S, perangkat Desa Pengampon.
Tak main-main, para tersangka ini diduga menerima uang gratifikasi tersebut, namun dengan jumlah yang berbeda. Detailnya, untuk perangkat desa Karangpakis yakni GRF menerima Rp 28.800.034.
Sementara itu ANK mendapat jatah Rp 139.335.000. Selain itu, ada tersangka J yang menerima uang sebesar Rp 190.992.000. N, menerima uang sebesar Rp 85.889.000 dan S Rp 170.184.000.
Lebih lanjut, untuk perangkat Desa Pengampon, W, dirinya menerima uang sebesar Rp 87.000.000. Ada pula S, yang menerima Rp 27.592.000, kemudian tersangka S menerima Rp 137.000.895.
Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Aldo Febrianto mengatakan, kedelapan perangkat desa tersebut menjadi tersangka kasus korupsi.
“Diduga menerima gratifikasi dalam proses jual beli tanah untuk pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik. Kasus gratifikasi itu perihal transaksi jual beli lahan antara warga Desa Karangpakis, Desa Manduro, dan Desa Pengampon,” ucapnya, Rabu (14/6/2023).
Kasus korupsi tersebut sejatinya sudah dilakukan proses pemeriksaan sejak tanggal 5 Juni 2023 kemarin. Aldo menjelaskan, kedelapan orang tersebut diduga menerima gratifikasi guna menghaluskan rencana proses pembebasan lahan.
“Gratifikasi itu dilakukan guna memperlancar proses pembebasan lahan milik warga yang memang lahan tersebut akan digunakan untuk membangun sebuah pabrik,” katanya.