JOMBANG, KabarJombang.com – Kasus gratifikasi yang melibatkan 8 perangkat desa dari tiga desa berbeda di Jombang, banyak memunculkan tanda tanya.
Diketahui, Penyidik Tindak Pidana Korupsi Satreskrim Polres Jombang telah mengungkap kasus dugaan gratifikasi pendirian pabrik GRC Board, di Kabupaten Jombang.
Kasus ini pun sudah menetapkan 8 perangkat desa dari tiga desa berbeda. Lalu bagaimana kronologi kasus ini bisa terungkap?
Ipda Sugiarto Kanit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengatakan, kasus ini dilaporkan sejak 2019 lalu, ke Unit Tipikor Polres Jombang, Jawa Timur.
Jumlah tersangka sendiri saat ini adalah 8 orang, namun pihak kepolisian menyebut ada 10 orang yang ditetapkan menjadi tersangka. Dari 10 orang tersebut, dua di antaranya meninggal dunia.
“Salah satu yang meninggal itu kepala desa. Sehingga tersangka yang ditetapkan 8 orang,” ucapnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu (14/6/2023).
Lebih lanjut, Sugiarto menjelaskan, nilai perputaran uang dalam kasus ini mencapai ratusan juta rupiah. Dan, uang sebanyak itu terindikasi dibagi ketiga kepada desa yang namanya tercantum sebagai tersangka kasus ini.
“Jadi transaksinya melibatkan beberapa orang. Satu kepala desa bisa mendapatkan uang Rp 100 juta. Nilai totalnya kalau dikalkulasikan bisa mencapai di atas Rp 300 juta,” ujarnya.
Bayaran tersebut, diduga diminta sebagai bagian tanda jasa para kades yang berupaya membuatkan surat pengalihan lahan dari milik warga ke perusahaan.
Bentuk tanda jasa yang dimaksud seperti surat jual beli tanah dan surat yang diperlukan perusahaan. Untuk tersangka memang tidak ada yang lain selain para perangkat tersebut.
Karena menurutnya, pihak yang diduga memberi gratifikasi tersebut, sengaja diminta sebagai tanda jasa karena telah membuatkan surat pengalihan lahan.
“Jadi, dari pihak perusahaan menunjuk orang. Tujuannya untuk mengakomodir tiga kepala desa ini untuk mengurus surat tersebut. Jadi memang bentuknya seperti surat jual beli tanah itu,” ungkapnya.
Sementara itu, karena proses sudah berjalan. Sudah ada puluhan saksi yang telah diperiksa. Beberapa saksi yang diperiksa diantaranya kepada desa, perusahaan dan pemilik tanah.
Jadi ada 9 sampai 10 orang setiap berkas, mulai dari perangkat desa, pemilik tanah dan pihak perusahaan serta saksi ahli
“Kepala desa yang ikut diperiksa dan berstatus sebagai saksi merupakan Kades Pangampon, Kades Karangpakis serta Kades Manduro. Semua dari Kecamatan Kabuh,” imbuhnya.
Sebagai informasi, diduga menerima gratifikasi proses jual beli tanah, delapan perangkat desa di Kabupaten Jombang ini jadi tersangka korupsi. Delapan perangkat desa ini berasal dari tiga desa berbeda di wilayah Kabupaten Jombang.
Kedelapan perangkat desa tersebut yakni GRF dan ANK, perangkat Desa Karangpakis, J, N dan S, perangkat Desa Manduro dan W, S dan S, perangkat Desa Pengampon.
Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Aldo Febrianto mengatakan, kedelapan perangkat desa tersebut menjadi tersangka kasus korupsi.
“Diduga menerima gratifikasi dalam proses jual beli tanah untuk pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik. Kasus gratifikasi itu perihal transaksi jual beli lahan antara warga Desa Karangpakis, Desa Manduro, dan Desa Pengampon,” ucapnya, Rabu (14/6/2023).
Kasus korupsi tersebut sejatinya sudah dilakukan proses pemeriksaan sejak tanggal 5 Juni 2023 kemarin. Aldo menjelaskan, kedelapan orang tersebut diduga menerima gratifikasi guna menghaluskan rencana proses pembebasan lahan.
“Gratifikasi itu dilakukan guna memperlancar proses pembebasan lahan milik warga yang memang lahan tersebut akan digunakan untuk membangun sebuah pabrik,” katanya.
Para tersangka, masih kata Aldo, diduga menerima uang gratifikasi tersebut, namun dengan jumlah yang berbeda. Detailnya, untuk perangkat desa Karangpakis yakni GRF menerima Rp 28.800.034.
Sementara itu ANK mendapat jatah Rp 139.335.000. Selain itu, ada tersangka J yang menerima uang sebesar Rp 190.992.000. N, menerima uang sebesar Rp 85.889.000 dan S Rp 170.184.000.
Lebih lanjut, untuk perangkat Desa Pengampon, W, dirinya menerima uang sebesar Rp 87.000.000. Ada pula S, yang menerima Rp 27.592.000, kemudian tersangka S menerima Rp 137.000.895.