Hari Perempuan Sedunia, Penanganan Perempuan Korban Kekerasan di Jombang Belum Membaik

foto : Penyusunan Mekanisme Rujukan HKSR dalam Rangka Pemenuhan Akses Layanan bagi Korban Kekerasan Seksual. (WCC Jombang)
  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Tepat pada hari ini, Jumat (8/3/2024) kemarin, merupakan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Bersinggungan dengan itu, Women Crisis Center (WCC) Jombang menyebut situasi penanganan perempuan korban kekerasan di Kota Santri belum membaik.

Ana Abdillah, selaku Direktur WCC Jombang menyebut sepanjang tahun 2023, pihaknya menerima 86 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis Gender.

Baca Juga

Dari 86 kasus yang ditangani, ada sebanyak 34 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 3 Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 31 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan pelaku adalah suami dan 3 kasus pelaku adalah ayah.

Selanjutnya ada 49 kasus merupakan kekerasan seksual, terdiri dari 15 Kasus Perkosaan, 9 kasus pelecehan seksual dan 14 kasus kekerasan dalam pacaran, 2 kasus incest dan 2 kasus trafficking dan 3 kasus pidana umum.

Dari 86 kasus, sebanyak 17 kasus teridentifikasi terjadi merupakan kasus Seksual Berbasis Elektronik di ranah online  dan 2 kasus korban merupakan disabilitas.

“Dari 34 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang ada sebanyak 10 kasus berujung pada perceraian dan 1 kasus harus bersengketa dalam permohonan hak asuh anak,” ucapnya saat dikonfirmasi pada Jumat (8/3/2024).

Dalam lingkup keluarga, 29 korban
mengalami kekerasan psikis, 22 korban mengalami penelantaran, 2 korban mengalami marital rape, serta 13 korban mengalami kekerasan fisik.

Lebih lanjut, sepanjang 2023 terdapat 1 kasus KDRT yang proses hukumnya sampai pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jombang. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah dengan
melibatkan pemerintah desa.

“Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggung jawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali pada kasus penelantaran, korban akan memilih jalur perdata atau cerai gugat,” ungkapnya.

Menurutnya, pilihan ini justru mengabaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, beberapa permasalahan pasca putusan cerai seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa bantuan mantan suami.

Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Sebanding dengan perempuan korban KDRT, beragam tantangan juga dihadapi oleh 49 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Sebanyak 33 korban merupakan usia anak yang mengalami kekerasan seksual, dimana 14 perkara pidana yang diadili di Pengadilan sudah Putusan (terdiri dari 4 kasus pengaduan pada tahun 2022 dan proses persidangan tahun 2023, kemudian 10 kasus pengaduan dan proses persidangan tahun 2023),

Juga ada 9 korban yang masih menjalani proses hukum, 1 korban terkendala proses pembuktian yang membuat laporannya terancam dihentikan, 1 korban pelakunya masih DPO, 5 korban berakhir damai secara kekeluargaan, 9 korban memilih tidak melalui proses hukum.

Dari 49 kasus kekerasan seksual sebanyak 16 korban berusia diatas 18 tahun (dewasa) namun 14 korban usia dewasa yang memutuskan untuk tidak lapor karena tantangan sukarnya implementasi UU TPKS.

“Beberapa kasus dialami NI (41) seorang janda yang memiliki 3 anak menjadi korban tindak pidana penyebaran konten berbasis elektronik oleh suami (perkawinan siri) berupa penyebaran video telanjang tersebut korban terus mendapatkan ancaman dan dampak trauma psikologis berkepanjangan sementara proses pelaporan yang dilakukan belum juga berujung pada kejelasan informasi perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian,” jelasnya.

Problem struktural ini diperkuat dengan masih minimnya komitmen stakeholder dalam mengimplementasikan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual yang mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual sebagai jawaban kekosongan hukum selama ini.

Sementara, dilematika dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak diantaranya minimnya pemahaman orangtua bahkan tenaga pendidik dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan Anak, banyak orang dewasa yang menjadikan ‘kawin anak’ sebagai solusi penyelesaian kasus kekerasan seksual.

Hal ini tidak berbanding lurus dengan Edukasi Hak Kesehatan Seksual Reproduksi terhadap anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa ‘Tidak ada Restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual’.

Jadi Problem Serius

Kasus kekerasan seksual sudah menjadi problem serius di Kabupaten Jombang, Pada bulan september 2023 Bupati Jombang Ibu Mundjidah menetapkan peraturan bupati Jombang Nomor 103 tahun 2023 tentang kesehatan Reproduksi melalui kerja panjang advokasi yang dilakukan secara kolektif oleh berbagai organisasi masyarakat yang tergabung Aliansi Inklusif bersama stakeholder terkait.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis bagi segenap stakeholder di kabupaten Jombang untuk memperkuat kemitraan
pemerintah dan masyarakat sebagai upaya memperkuat pendidikan kesehatan reproduksi di satuan pendidikan sebagai sarana pencegahan kekerasan.

Lalu pada tanggal 5 Oktober 2023 Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang melalui Dinas Pendidikan kabupaten Jombang telah pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) melalui Surat Keputusan Satgas PPK nomo 188.4.45/369/415.10.1.3/2023, yang diterbitkan pada 3 November 2023 dan ditandatangani oleh PJ Bupati Jombang Sugiat.

Kebijakan Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perbup Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu Terintegrasi dengan Penanganan
Perempuan Korban Kekerasan adalah bukti bahwa Regulasi yang dirasa komprehensif dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya sudah dimiliki oleh Kabupaten Jombang.

Namun nyatanya regulasi-regulasi tersebut belum mampu mencapai komprehensifitas dalam implementasinya.

Maka, optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak harus diselaraskan melalui penguatan APH, Civitas Akademika, Lembaga layanan pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem pencegahan untuk mendukung kualitas layanan melalui Edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi melalui penguatan
pengetahuan, perumusan kebijakan dan dukungan anggaran serta penguatan infrastruktur kelembagaan dan sumberdaya manusia.

Hal tersebut menunjukan bahwa kesadaran membangun layanan yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban.

“Ragam situasi dan tantangan dalam penanganan kasus sepanjang 2023 memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan masih sangat minim,” katanya.

Penanganan Perempuan Korban Kekerasan Belum Membaik

Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2023, dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik.

Beberapa hal yang menyebabkan penanganan belum membaik seperti banyak hambatan dalam pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergitas antar stakeholder dalam upaya penyelenggaraan pelindungan perempuan korban kekerasan.

“Minimnya pemahaman orangtua, tenaga pendidik serta tenaga layanan kesehatan dalam merespon penyelesaian permasalahan hak kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya kekerasan seksual yang berorientasi terhadap pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan,” pungkasnya.

Juga belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan, dimana salah satunya adalah masih ditemukan upaya kriminalisasi bagi korban kekerasan, adanya impunitas pada pelaku kekerasan serta minimnya komitmen implementasi UU TPKS.

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait