JOMBANG, KabarJombang.com – Sidang gugatan perdata yang dilayangkan oleh Soetikno (56) terhadap mantan adik iparnya, Diana Soewito (46) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Senin (16/10/2023). Sidang dipimpin oleh hakim Faisal Akbaruddin Taqwa dan dua hakim anggota Muhammad Riduansyah dan Luki Eko Ardianto.
Dalam materinya, pihak Soetikno menggugat Diana karena dituding tidak menanggung biaya pemakaman suaminya (Subroto). Padahal Diana adalah sebagai ahli waris golongan pertama. Sehingga pemakaman tersebut dibiayai oleh Soetikno dan keluarganya. Soetikno juga menggugat Diana sebesar Rp 5,9 Miliar.
Sedangkan kepada Polres Jombang, penggugat menuntut agar perkara pidana terhadap Soetikno dan Ibunya, Yeni Sulistyowati (78) dihentikan.
Dalam sidang tersebut, hakim PN Jombang meminta agar para pihak melakukan mediasi dengan dipimpin oleh oleh Ida Ayu Masyuni di ruang mediasi PN Jombang.
Namun, kuasa hukum Diana Suwito, Andri Rachmad menolak mediasi tersebut dengan melayangkan sepucuk surat. Sehingga sidang dilanjutkan dengan agenda selanjutnya.
Sementara itu, Diana Soewito saat ditemui di luar lokasi persidangan mengatakan, gugatan PMH yang dilakukan oleh Soetikno terkait dengan biaya pemakaman, dan ahli waris, merupakan hal yang tidak masuk akal.
“Secara hukum, sepasang suami-istri, ketika pasangannya meninggal kan ahli waris jatuh di pasangannya yang masih hidup, dan itu secara hukum gitu ya. Dan saya sebagai istri yang ditinggalkan kan secara hukum saya sebagai ahli waris ya. Dan hal seperti itu kan seharusnya gak perlu dipertanyakan,” kata Diana.
Sedangkan, Andri Rachmad selaku kuasa hukum Diana Soewito menjelaskan, dalam pernikahan antara Diana Soewito dengan mendiang Subroto Adi Wijoyo, tidak terdapat perjanjian pra nikah. Lantaran harta yang ditinggalkan mendiang Subroto bukanlah harta benda yang istimewa.
“Harta yang ditinggalkan, mungkin bagi beberapa orang dianggap lucu. Karena hanya KTP, HP, dan perhiasan hadiah pernikahan, termasuk cincin kawin. Jadi gak ada tanah, bangunan atau gedung,” ujar Andri.
“Dan berkaitan dengan hutang, sepengetahuan kami mendiang Subroto tidak mempunyai hutang. Bahkan, kami baru tahu, ada gugatan di klaim tentang adanya biaya pemakaman yang klien kami harus membayar. Yang dianggapnya hutang,” imbuhnya.
Ia pun menceritakan, pada saat mendiang Subroto disemayamkan sebelum pemakaman. Ada uang sumbangan yang digalang oleh pihak keluarga. Dimana, pihak keluarga merupakan ahli waris golongan 2.
“Ada uang sumbangan, pada waktu persemayaman. Dan sebagai istri Bu Diana tau kotaknya saja, tapi gak pernah tau isinya, ndak tau jumlahnya, apalagi yang nyumbang. Kenapa bisa begitu, karena pihak keluarga diam-diam dan tidak memberitahu Bu Diana,” kata Andri.
Padahal, sambung Andri, seorang istri yang masuk dalam golongan ahli waris 1, harusnya tau akan hal itu. Dan proses pemakaman, pihak keluarga justru memesan perlengkapan dan kebutuhan makam sendiri tanpa berunding dengan kliennya.
“Sampai mereka pesan-pesan sendiri, pesan peti mati, pesan makam, sampai mereka membuat bongpay (batu nisan). Dan ini tidak melalui musyawarah atau pemberitahuan dengan Bu Diana (ahli waris golongan pertama),” tuturnya.
“Bahkan Bu Diana sempat menanyakan, pada Soetikno yang saat ini menggugat. Pertanyaannya gini, apakah ada, biaya mungkin biaya peti mati, yang harus dibayar, dari pihak keluarga Soetikno menjawab, tidak ada,” kata Andri.
Dengan adanya gugatan perdata PMH itu, Andri merasa ada yang lucu dari sikap keluarga Soetikno. Karena mereka sebagai ahli waris golongan 2, sudah membuat acara persemayaman sendiri, namun biaya yang dikeluarkan dilimpahkan ke ahli waris golongan pertama atau Diana Soewito.
“Dan menjadi lucu sekarang, tiba-tiba ada gugatan, yang sama sekali kegiatan pemakaman ini, sebelumnya tidak pernah dikonfirmasikan. Mereka bikin acara sendiri, habisnya sekian juta, dan kami tak tau habisnya berapa, tapi tiba-tiba ditagihkan ke kami,” ujarnya.
Andri menegaskan bahwa, dalam proses pemakaman, pihak keluarga Soetikno juga tidak mencantumkan nama Diana Suwito sebagai ahli waris golongan pertama di batu nisan Subroto.
Padahal, secara budaya Tionghoa, pencantuman nama istri dalam batu nisan, merupakan hal yang penting, karena menyangkut harga diri dan nama baik keluarga.
“Ya dengan tidak dituliskan nama klien saya di bongpay, itu merupakan pelecehan dan penghinaan yang luar biasa,” pungkas Andri.