Debt Collector yang Tidak Bersertifikat Bisa Terancam Pidana

  • Whatsapp

JOMBANG, KabarJombang.com – Kuasa hukum korban dugaan perampasan mobil oleh Debt Collector di Jombang, Beny Hendro Yulianto mempersoalkan kapasitas dan legalitas sejumlah oknum Debt Collector yang terlapor dalam perkara yang baru dihentikan penyelidikannya oleh penyidik Polres Jombang.

Dalam keterangannya, Beny mengatakan, langkah pihak kepolisian yang menghentikan proses penyelidikan perkara kliennya terlalu prematur. Pasalnya pihak kepolisian belum melakukan penyelidikan lebih dalam terkait kapasitas dan legalitas profesi sejumlah oknum debt collector yang diduga merampas mobil kliennya, Heni Eka Fatmawati tersebut sebagaimana Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).

Baca Juga

“Perlu ditelisik lagi siapa yang melakukan penarikan mobil klien kami, kalau bicara legalitas profesi itu Debt Collector resmi apa tidak? Kalau Debt Collector yang tak bersertifikasi, bisa terancam pidana lho, okey lah jika Pasal 48 ayat (1) POJK tersebut mengatur bahwa, perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur, namun perlu diingat sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 ayat (5) POJK mengatur bahwa pegawai dan/atau tenaga alih daya perusahaan pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK, dalam hal ini lembaga yang dimaksud disini adalah PT. Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia atau (SPPI ) yang melakukan Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan terhadap petugas penagihan,” kata Beny, Sabtu (3/6/2023)

Selain itu, Beny menuturkan berdasarkan keterangan kliennya selama melakukan aktivitas penagihan oknum Debt Collector tidak pernah menunjukkan dokumen resmi berupa kartu anggota, termasuk sertifikat profesi kepada kliennya sebagaimana disebutkan dalam POJK.

“POJK kan sudah jelas, ketika melakukan penagihan, debt collector harus membawa 4 dokumen, termasuk sertifikat profesi dan dalam melakukan penagihan, debt collector perusahaan pembiayaan, wajib membawa sejumlah dokumen, yakni kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia, Jika prosedur ini tidak dilakukan oleh Debt collector saat melakukan penagihan tehadap debitur maka bisa dikatakan aktivitasnya ilegal dan melanggar hukum,” papar Beny.

Sebelumnya korban dugaan perampasan mobil oleh Debt Collector, Heni Eka Fatmawati menyurati Mabes Polri & Kompolnas untuk meminta dilakukan gelar perkara ulang.

Heni Eka Fatmawati melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Forum Rembug Masyarakat Jawa Timur (LBH FRMJ), Beny Hendro Yulianto mengatakan, hasil gelar perkara terkait dugaan perampasan mobil oleh Debt Collector, terhadap kliennya sudah digelar pada Rabu 24 Mei 2023. Berdasarkan keterangan lisan yang diperolehnya, bahwa laporan kliennya tersebut telah dihentikan penyelidikannya.

“Berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) tertanggal 29 Mei 2023 mengenai hasil gelar perkara hari Rabu 24 Mei lalu, informasi secara formal yang kami terima, perkara itu sudah dihentikan,” kata Beny kepada wartawan di kantornya, Jumat (2/6/2023).

Meski belum merinci secara detail alasan penghentian perkara itu. Namun, Beny mengatakan salah satu alasan penghentian penyelidikan tersebut karena perkara kliennya tidak diketemukan adanya peristiwa tindak pidana . “Secara formal melalui SP2HP sudah disampaikan bahwa berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik atas laporan klien kami tersebut tidak ditemukan adanya peristiwa tindak pidana,” ujarnya.

Menurut Beny, kliennya selaku pelapor sangat kecewa dan putus asa dengan hasil gelar perkara. Sebab, gelar perkara itu dinilai tidak berimbang dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi pelapor. Pasalnya, dalam proses gelar perkara yang hanya dilakukan secara internal itu tidak melibatkan pihak pelapor untuk memastikan kesesuaian saksi, saksi pelapor dan terlapor untuk kejelasan perkara.

“Gelar perkara kan merupakan bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Kalau secara formal, gelar perkara atau biasa disebut dengan ekspos perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum. Padahal kita berkeyakinan bahwa itu adalah tindak pidana pemerasan dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUH Pidana. Dimana unsur-unsur pemerasan dengan kekerasan sudah terpenuhi menurut analisa pandangan hukum kita, point’ yang pertama karena adanya penghadangan yang dinilai ngawur dan kasar oleh sejumlah oknum Debt Collector (red. Terlapor ). Mereka menghadang dengan memotong jalan secara tiba tiba di depan saksi pelapor yang pada saat itu tengah mengendarai mobilnya, dan hal itu bisa saja beresiko mengancam jiwa saksi pelapor dan sangat berbahaya sekali jika sampai terjadi kecelakaan, perilaku intimidatif itu membuat saksi pelapor secara psikologis tertekan hingga terpaksa melakukan sesuatu untuk terlapor dengan menyerahkan kunci mobil hingga menandatangi berita acara penyerahan mobil yang disodorkan oleh terlapor, apakah itu bukan suatu bentuk pemerasan dengan kekerasan? Maka dari itu harapan kita, kegiatan penyelidikan ini dapat ditingkatkan ke tahap tingkat penyidikan. Suratnya nanti ke Kabareskrim UP Karo Wasidik Mabes Polri, sekaligus ke Kompolnas” kata Beny menambahkan.

Melihat kejanggalan hingga berakhir dihentikannya perkara tersebut, Beny berharap agar Mabes Polri dan Kompolnas berkenan menginstruksikan atau merekomendasikan kepada penyidik Polres Jombang untuk melakukan gelar perkara ulang.

Kasatreskrim Polres Jombang, AKP Aldo Febrianto saat dikonfirmasi perihal tersebut sabtu (3/6/2023) melalui whatsapp masih belum ada jawaban.

 

Iklan Bank Jombang 2024

Berita Terkait