JOMBANG, KabarJombang.com – Dugaan adanya “mahar” dalam proses pengisian perangkat desa di tiga kecamatan di Kabupaten Jombang, dikritisi praktisi hukum Dr A Sholikhin Ruslie. Pihaknya mengatakan, persoalan tersebut sebenarnya sudah gamblang, tinggal bagaimana komitmen lembaga penegak hukum menyikapi hal ini.
“Menurut saya, ada dua institusi yang paling bertanggung jawab agar ini terbukti secara yuridis, yaitu Inspektorat dan Saber Pungli,” katanya, Selasa (13/10/2020).
Sudah gamblang, tuturnya, lantaran dugaan adanya permainan sekaligus transaksional dalam pengisian perangkat desa, sudah berseliweran diberitakan di media massa. Harusnya, lanjut Sholikhin Ruslie, ulasan media massa tersebut menjadi pijakan awal untuk kedua lembaga tersebut bisa investigasi atau menyelidiki lebih lanjut.
“Di berita-berita tersebut secara nyata menyebut dugaan yang menang dan terpilih jadi perangkat desa adalah “jago Kades”. Nah, tinggal bagaimana dua lembaga penegak hukum tadi bersikap. Harusnya sudah bisa diselidiki lebih dalam,” papar Sholikhin Ruslie.
Disinggung kenapa lebih memilih Inspektorat dan Saber Pungli ketimbang Kejaksaan atau Kepolisian, ia menjawab, Inspektorat merupakan lembaga yang memiliki kewenangan memeriksa secara internal dari tingkat Kabupaten hingga Pemerintah Desa (Pemdes).
“Apalagi, kalau Kades-nya merupakan Pj (penjabat) yang notabene PNS atau ASN. Inspektorat memiliki kewenangan itu. Pertanyaannya sekarang, mau atau tidak?,” bebernya.
Kalau untuk Saber Pungli, pihaknya memilih lembahga ini untuk bisa mengungkap tabir dugaan adanya “mahar” dalam pengisian perangkat desa, karena peristiwanya sudah masuk pada wilayahnya atau ruang lingkup kinerjanya. Dan seharusnya menjadi perhatian serius bagi lembaga tersebut.
“Harusnya ini momen lembaga Saber Pungli untuk membuktikan kinerjanya ke publik. Maka ketika ada sesuatu yang sudah sangat nyata dan welo-welo, ini tidak boleh dibiarkan,” lanjutnya.
Ia juga mengatakan, nyali Saber Punli tidak boleh hilang begitu saja dan terkesan membiarkan, gara-gara hal tersebut diduga melibatkan banyak pihak dan terjadi secara massif.
“Kalau dua lembaga tersebut diam terus, penegakan hukum di Jombang akan menjadi lumpuh. Ini sangat disayangkan, dan bisa jadi kepercayaan masyarakat luntur terhadap penagakan hukum,” pungkasnya.