DIWEK, KabarJombang.com – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Ir. Hamli, M.E. meminta seluruh elemen masyarakat berkontribusi menangkal Radikalisme.
Hal ini dia sampaikan dalam Seminar Nasional Silang Pendapat Makna Radikalisme, di Gedung Yusuf Hasyim, Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang, pada Sabtu (21/12/2019).
Dalam kesempatan itu Hamli menyebut yang dimaksud radikalisme adalah terorisme sebagaimana disebut dalam UU No 5 Tahun 2018.
Pengertian tersebut, menurutnya, adalah hasil dari penggodokan yang dilakukan oleh DPR RI yang anggotanya terdiri dari beberapa perwakilan partai politik. “Nantinya jika ada revisi, pasti nanti kami akan revisi terkait UU tentang terorisme ini,” ujarnya.
Hamli menyebut ada tiga hal yang mempengaruhi lingkungan strategis yang bisa berdampak pada terpaparnya seseorang oleh radikalisme. “Yang pertama itu lingkungan strategis, dimana pengaruhnya terbagi lagi menjadi tiga yaitu global, regional dan nasional,” ujarnya.
Ketika sudah ada lingkungan yang strategis, katanya, selanjutnya akan ada materi propaganda yang diberikan. “Materi seperti Thogut, kafir Demokrasi, Akhir Zaman, Hijrah, Khilafah/Daulah Islamiyah, Tauhid Hakimiah, Pembatalan Islam, Keutamaan Jihad, Mati Syahid, Aqidah,” kata dia mencontohkan.
Menurutnya, materi itu sebenarnya materi biasa. Hanya karena jatuh ke tangan yang salah maka berbeda penafsirannya. Dari pemahaman dan penafsiran yang radikal itu maka kemudian tumbuh gerakan radikalisme.
Hamli melansir data BNPT yang menyebut dampak dari radikalisme di sejumlah tempat. Misal, aksi teror di Mumbai, India tahun 2008, di Paris pada tahun 2015, teror bom Surabaya 2018 di tiga Gereja masing-masing Gereja Katolik Santa Maria, Gereja Kristen Indonesia Jl. Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jl. Arjuno .
Selain itu, Hamli juga mengutip hasil riset INSEP (Indonesian Institute for Society Empowerment) tahun 2012 terkait motif aksi teror oleh para pelaku. “Jadi motifnya itu 45% ideologi agama, 20% solidaritas komunal, 12,7% Mob mentality, 10,9% balas dendam, 9,1% situasinonal, dan 1,8 % separatisme,” ungkapnya.
Dari uraian tersebut Hamli berharap seluruh elemen masyarakat dapat membantu aparat dan pemerintahan untuk setidaknya mengurangi penyebaran radikalisme. “Terutama, kami harap pondok pesantren mampu memberikan edukasi yang lebih tentang pemahaman agama yang benar kepada santri maupun masyarakat,” pungkasnya.
Selain Hamli, hadir sebagai narasumber dalam seminar tersebut pengasuh Pesantren Sukorejo Situbondo, KH. Afifudin Muhajir, Ketua Majelis Syuro PKS, Dr. H. Salim Segaf Al-jufri Lc., M.A, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. H. Masdar Hilmy, MA, Ph.D, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Fathur Rohman. dan dosen Unhasy Prof. H. Syafiq A. Mughni, MA, Ph.D.