JOMBANG, KabarJombang.com – Perundungan atau Bullying kerap jadi momok besar yang sulit dihindari di lingkungan Pondok Pesantren.
Baru-baru ini, salah satu Pondok Pesantren di Kediri, Jawa Timur mengalami hal tersebut. Dimana seorang santri yang baru berusia 14 tahun tewas setelah mendapatkan perundungan dari seniornya.
Guna mengantisipasi hal serupa, Pondok Pesantren di Kabupaten Jombang punya upaya untuk mengantisipasi kasus perundungan yang melibatkan para santri.
Seperti di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, melalui salah satu pengurusnya yakni Anang Firdaus, menyebut pesantren menolak sikap kekerasan.
Ia meyakini, setiap pesantren pasti menentang kekerasan. Namun, sikap tersebut bukan hanya sebatas pernyataan semata. Namun harus diimbangi dengan sistem yang bekerja secara konsisten dan terukur.
Lebih lanjut, menurut Anang, di Ponpes Tebuireng Jombang, punya keamanan berlapis mulai dari tingkat pertama yakni hadir di diri para santri.
“Lalu dikuatkan dengan pendekatan persuasif oleh para pembina di kamar dan dilakukan sosialisasi serta antisipasi untuk mencegah terjadinya kekerasan,” ucapnya, Jumat (1/3/2024).
Dari sistem yang telah berjalan itu, setiap kamar di pondok memiliki pembina yang juga ikut tidur di kamar. Dimana, pembina kamar memiliki tugas untuk mendeteksi kasus kekerasan di kamar sejak dini.
“Pembina punya peran untuk menyelesaikan masalah di setiap kamar terlebih dahulu sebelum nantinya sampai ke keamanan pusat,” katanya.
Menurutnya, potensi masalah yang ada di kamar para santri harus bisa diatasi sejak dini.
“Nantinya, ketika para pembina kamar belum bisa menyelesaikan, akan naik ke atas yakni bagian keamanan. Barulah setelah di bagian keamanan, cara penanganannya bermacam-macam,” ungkapnya.
Masih kata Anang, apabila permasalahan cukup besar, pihak orang tua akan dihadirkan, dilibatkan supaya permasalahan tidak melebar.
Ia juga menjelaskan, Ponpes Pesantren Tebuireng sejak kepemimpinan KH Salahuddin Wahid, pada tahun 2014-2015 juga telah melakukan kerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang untuk pelatihan seputar konseling dan pembinaan yang diikuti oleh pembina pesantren Tebuireng.
“Saya ikut pelatihan bersama tim dari UIN Malang saat menjadi pembina kamar. Harapannya untuk kasus-kasus yang potensial untuk memberikan dampak besar, bisa ditangani sejak awal. Hingga tidak sampai terjadi kekerasan,” jelasnya.
Melansir NU Online, ia menuturkan bahwa kasus kekerasan bisa terjadi karena ada penyebab. Dari penyebab itulah yang harus dideteksi sejak awal.
“Harus ada deteksi sejak awal seperti salah paham, komunikasi yang baik dan efektif, bullying dan juga gengsi,” katanya.
Karena itu, pembina kamar menjadi kunci pertama untuk menyelesaikan permasalahan sejak awal. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pola seperti ini sudah ditetapkan di Tebuireng sejak lama. Ada penanganan persuasif oleh pembina kamar.
Sementara itu, di sisi lain, pola penanganan kasus perundungan di pondok lain di Jombang, khususnya di Tambakberas, Menurut Ketua Pondok Pesantren Bumi Damai Al-Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Ustadz Asadul Arifin, kasus kekerasan jadi perhatian khusus di instansi yang dikelolanya.
Dirinya mengapresiasi peran aktif berbagai pihak dalam mengantisipasi kasus kekerasan di pesantren. Sebagai langkah antisipasi dan pencegahan, pihaknya terus memperhatikan santri-santri melalui pembimbing/pengurus setiap kamar.
“Isu bullying memang sedang deras akhir-akhir ini. Terlebih setelah kasus di salah satu pondok daerah Jawa Timur. Banyak pihak menghubungi saya untuk lebih memperhatikan masalah ini, saya tentunya sangat berterima kasih atas pengingat dan masukannya yang akan kami pegang terus,” ujar Asadul Arifin.
Kasus perundungan di lingkungan santri ini juga menjadi perhatian khusus bagi Pengasuh Asrama Al-Furqon, Pondok Pesantren Darul Ulum H. Musta’in Dzul Azmi. Ia menyebut mitigasi awal menjadi kunci.
Pria yang akrab disapa Gus Azmi itu menuturkan jika potensi terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren memang harus menjadi perhatian.
Menurutnya, potensi tersebut akan terus terjadi, mengingat di Pondok Pesantren ada beragam santri dengan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Sebab itu, pihak pondok harus sangat jeli dan melakukan mitigasi dan antisipasi terjadinya kekerasan fisik antar sesama santri.
“Ada langkah-langkah preventif yang harus dilakukan. Salah satunya yakni memberi pemahaman terus-menerus kepada para santri untuk tmenjaga kekompakan, menguatkan persaudaraan, dan saling menghargai satu sama lain,” ucapnya melansir Samudra Fakta, Jumat (1/3/2024).
Pihak pondok juga punya kewajiban untuk mengkoordinir per angkatan atau dibuatkan struktur kepengurusan yang bertugas membina kekompakan, soliditas dan solidaritas. “Jadi jika muncul konflik antar santri, bisa segera ditangani,” katanya.
Sudah bukan rahasia umum jika pondok pesantren pasti melahirkan santri di setiap angkatannya. Karena itu, setiap angkatan ada pembina yang bertanggung jawab mengawasi.
“Nantinya setiap bulan penanggung jawab wajib menyampaikan laporan ke dewan pengasuh pesantren terkait ada tidaknya permasalahan, seperti perundungan dan kekerasan fisik yang terjadi,” ungkapnya.
Putra ke-7 Almaghfurlah KH. Dimyathy Romli itu juga mengingatkan supaya santri tidak malu untuk mencurahkan isi hatinya.
“Membiasakan santri untuk curhat dan bercerita langsung ke Dewan Pengasuh atau pembina setiap ada permasalahan di pondok. Membuat banyak aktivitas kegiatan untuk menyalurkan potensi dan bakat santri, terutama kegiatan yang punya nilai-nilai kebersamaan,” katanya.
Nantinya, jika terdapat santri yang terbukti melakukan tindakan perundungan dan kekerasan, Dewan Pengasuh melakukan tindakan tegas dan terukur, tidak segan juga untuk mengeluarkan pelaku.
“Jika ditemukan ada santri yang nakal, Dewan Pengasuh langsung gerak cepat melakukan langkah identifikasi dan pendekatan personal, face to face, mendahulukan rasa,” pungkasnya.