JOMBANG, KabarJombang.com – Tari remo, merupakan salah satu jenis tarian tradisional berasal dari daerah Jawa Timur, yang menggambarkan keberanian seorang Pangeran yang berjuang di medan perang. Tarian ini sering dipentaskan dalam pagelaran kesenian ludruk sebagai pengantar pertunjukan.
Pemerhati sejarah Jombang, Dian Sukarno menuturkan, jika sejarah tari remo ini pada dasarnya saling keterkaitan dan tidak terlepas dari sejarah ludruk. Pada tahun 1908 seorang bernama Santik asal Gudo, Jombang diduga sebagai aktivis pergerakan Syarekat Islam pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang berjuang melalui jalan ngamen dengan bedak yang tidak merata diwajahnya.
Alasan tidak diratakannya bedak yang ada diwajah agar tidak diketahui oleh keluarga, kenalan, dan para tetangga, sehingga pak Santik melakukan penyamaran dengan memakai bedak tidak rata. Dalam istilah setempat disebut lerak-lerok.
“Yang kemudian muncul kesenian lerok yang sifatnya monolog dari pintu ke pintu sambil menghitung dan membawa gendang kecil yang berjalan cukup lama,” kata Dian kepada KabarJombang.com, Sabtu (6/3/2021).
Dengan berjalannya waktu dan perkembangan Pak Santik dipertemukan oleh Cak Culike orang Pandanwangi, Jombang dan Cak Bulawi orang Ceweng, Jombang.
Dari kesenian lerok yang digagas pertama kali oleh Pak Santik ini kemudian berkembang menjadi Seni Besutan, yang disamping itu juga sebagai alat perjuangan.
“Karena besut itu (beto maksud), yang berarti membawa pesan perjuangan mulai dari tokoh-tokohnya, kostum, dan make up nya. Besut ini ada tiga tokoh yakni Besut, Rusmini, dan Man Gndo,” ujarnya.
Dikatakannya, menurut Cak Asmuni dan Karsono (almarhum), Besut sebagai representasi rakyat Indonesia, Rusmini sebagai Ibu Pertiwi, dan Man Gondo sebagai orang Belanda.
Sehingga dalam cerita Besutan tersebut Man Gondo ini berupaya untuk memisahkan kisah cinta antara Besut dan Rusmini. Yang dalam artian orang Belanda tersebut ingin memisahkan rakyat Indonesia dengan negeri atau ibu pertiwinya.
Sedangkan untuk kostum Besut sendiri terdiri dari kopyah dan selendang berwarna merah, bebet berwarna putih yang diikat dengan benang lawe. Sebagai simbol nasionalisme.
“Pada saat itu Besut ngesot sambil menutup mata dengan menutup mulutnya menggunakan susur dan obor yang masih menyala. Itu sebagai kemerdekaan berpikir, berpendapat baik lisan maupun tulisan itu memang dilarang oleh penjajah, ya dibuntuhlah aspirasinya,” ungkapnya.
Namun, setelah terbukanya kesadaran dengan mata terbuka, kemudian susurnya dilepas sebagai hambatan suara yang kemudian digunakan untuk memadamkan obor.
Yang berarti mulai terbukanya pandangan, kebebasan berpendapat melalui organisasi-organisasi yang sudah mulai berjalan dan hal tersebutlah sebagai salah satu alat untuk memadamkan obor penjajahan.
“Akhirnya Besut menari-nari, jadilah Tari Seniti, Seniten, atau Senitian yang merupakan embrio atau cikal bakalnya Tari Remo,” ungkapnya.
Menurut pendugaan Dian, seni Besutan tersebut berkembang menjadi seni Ludruk Besut. Yang kemudian seni Tari Seniti, Seniten, atau Senitian tersebut berkembang menjadi seni Tari Remo sekitar tahun 1920-an, kemudian untuk periode ludruk sendiri sudah mengalami perkembangan sejak zaman Jepang sekitar tahun 1942-an dimana Ludruk Besut berkembang menjadi Ludruk yang sempurna.