JOMBANG, KabarJombang.com – Video yang menayangkan mirip tasyakuran lengkap dengan musk serta biduan yang diduga digelar Kepala Desa (Kades) Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, direspon pengamat dan praktisi hukum Untag Surabaya, Solikhin Ruslie.
Ia mempertanyakan sikap oknum aparat hukum yang terkesan melakukan pembiaran kegiatan tersebut. Lebih lagi, dalam rekaman video tersebut, seolah-olah yang hadir mengabaikan protokol kesehatan (Prokes) di masa pandemi Covid-19.
Solikhin Ruslie mengkritisi, kejadian ini seakan-akan aturan hanyalah sebuah aturan. Tidak ada titik tekan penegakan terhadap aturan itu sendiri, apakah dilaksanakan atau tidak. Menurutnya, pola semacam ini yang akan menjadi awal ambruknya negara hukum.
“Apalagi, katanya ada polisi tapi diam. Ini aparat model apa. Seharusnya Kapolres memanggil dan memberi sanksi kepada aparat yang ada di lokasi, karena diam melihat adanya pelanggaran Undang-undang, Inpres, Perda Provinsi Jatim dan Perbup Jombang tentang pencegahan Covid-19,” katanya.
Selain itu, pihaknya mendesak agar Bupati memanggil Kades tersebut. “Biar jadi contoh yang lain, bahkan saya dengar-dengar Kades yang syukuran tersebut masih kerabat salah satu anggota DPRD Jombang,” tuturnya pada KabarJombang.com, Minggu (10/1/2021).
Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu penyebab perkembangan Covid-19 di Jombang semakin menggila. “Karena aparat sendiri tidak memberikan contoh yang baik dan juga tidak tegas. Apalagi dilakukan di rumah bagian belakang, ini kan namanya singidan (sembunyi) dan tidak ada izin.” jelasnya.
Solikhin mengingatkan, agar aparat hukum tidak melihat siapa yang dihadapinya, karena upaya penanggulangan Covid-19 sudah ada peraturannya.
“Aparat hukum jangan keder hanya karena mereka punya posisi dan back-up. Karena diamnya aparat akan membawa efek negatif yang besar terhadap masyarakat,” lanjutnya.
Disinggung mengenai Undang-undang yang dilanggar pada Pasal 93 UU No 06 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan dan Pasal 160 KUHP, Solikhin Ruslie mengatakan, jika penegakan Undang-undang menjadi hal yang wajib.
“Saya kira penegakan UU tentang karantina kesehatan menjadi hal yang sangat wajib. Bahkan tindakan represif perlu dijadikan alternatif terbaik demi keselamatan rakyat, dengan prinsip dasar ‘Salus Populi Suprema Lex’ yang artinya, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi,” ungkapnya.
Tentang ancaman hukuman maupun denda administrative, juga dia beberkan terkait pelanggaran dari UU di atas.
“Ada denda Rp 100 juta hukuman penjara, namun memang sanksi administratif dan/atau denda harus didahulukan, baru pidana sebagai upaya terakhir ultimum remedium. Namun, jika ada unsur pidana juga tidak masalah pidana disandingkan dengan sanksi denda, tapi saya kok tidak yakin punya nyali untuk itu,” pungkasnya.