KABUH, KabarJombang.com – Dijualnya alat kesenian tradisional Sandur Manduro milik Sakim (53), menjadi perhatian tersendiri bagi Warito (59) pimpinan salah satu grup Sandur Manduro yang masih aktif.
Ia mengakui, jika sangat sulit mendapatkan penerus kesenian yang sudah warisan budaya tak benda Kabupaten Jombang ini. Baik yang melatih maupun yang dilatih.
“Memang sulit cari penerusnya. Di kelompok saya pun yang seumuran bapak saya sudah meninggal. Untuk melatih anak-anak atau remaja juga sulit,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Jombang. Selasa (29/12/2020).
Kesulitan yang dirasakan Warito makin bertambah, kala bersinggungan dengan uang. Ini kerapkali dia alami saat dirinya mengajak sebagian orang untuk melatih, atau yang menurutnya cocok menjadi penerus pemain kesenian Sandur Manduro. Dikatakannya, sejumlah orang yang diajaknya itu, mayoritas sudah berorientasi materi.
“Kadang saya juga susah, kalau pas cari penerus yang melatih dan yang dilatih. Mesti tanya dulu, ada uangnya apa tidak. Jadi saya juga kesulitan untuk cari anak muda yang nantinya sebagai penerus kami,” ungkapnya.
Dijelaskannya, dalam satu kelompok kesenian Sandur Manduro, dibutuhkan 16 personel sebagai tanjak (pemain). Selama ini, katanya, selain pentas memenuhi undangan, personel grupnya juga main meski sekedar latihan.
Sebagai upaya regenerasi, ia juga sempat melatih sejumlah anak-anak dan remaja. Meski akhirnya pupus di tengah jalan. Alasannya, kata dia, karena sulit memainkannya dan Sandur Manduro rupanya membutuhkan jiwa seni cukup tinggi.
“Paling sulit itu melatih bagian slompret. Pernah dulu ada yang sampai bawa kasetnya, katanya mau dibuat latihan, tapi ya gitu bilangnya susah memainkannya,” tandasnya.
Mengenai adanya upaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jombang, memasukkan kesenian Sandur Manduro dalam ekstra sekolah pada tahun pelajaran mendatang, ia mengaku sangat mendukungnya. Ia juga berharap kesenian tradisional ini tidak musnah tergerus zaman.
“Saya bersyukur dengan hal itu. Saya juga dikabari kalau awal Januari nanti akan ada tamu, mungkin itu yang dimaksud nantinya,” papar Warito.
Disinggung soal alat kesenian Sandur Manduro yang dijual dengan dibandrol Rp 200 juta, Warito mengaku malu atas hal tersebut. Ia menilai, sebagai warisan budaya, harusnya tetap dipertahankan. Bagaimana pun caranya dan walaupun alat itu tidak tepakai.
“Isin-isini (bikin malu saja). Itu kan sebagai warisan, kok dijual. Kalau saya meskipun ditawar berapa pun tidak saya berikan. Saya biarkan begitu nggak apa-apa. Siapa tahu nanti ada yang melestarikannya, karena itu warisan kakek nenek saya,” jelasnya.
Ia juga mengakui sepi undangan pentas, akibat pandemi Covid-19. Meski begitu, ia mengaku akan tetap melestarikan kesenian tersebut. “Tapi, benar tadi. Harus ada upaya dari pihak terkait yang ikut mendukung agar kesenian ini tidak punah,” pungkasnya.
Sekedar informasi, Sandur Manduro sebagai kesenian asli Kota Santri ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, pada Oktober 2017 silam.
Penetapan ini ditandai dengan sertifikat yang diserahkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang saat itu, usai upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda Tingkat Provinsi Jawa Timur.