JOMBANG, KabarJombang.com – Jumlah kumulatif positif Covid-19 di Kabupaten Jombang, berdasarkan data di laman Dinkes Jombang Jumat 2 Oktober 2020 pukul 16.00 WIB, menujukkan angka 894 kasus. Dari jumlah itu, 98 diantaranya masih dirawat, 713 orang dinyatakan sembuh, dan 83 orang meninggal.
Sayangnya, Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Kabupaten Jombang, saat dikonfirmasi terkait informasi lebih detail, enggan berkomentar. Begitu juga dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jombang. Padahal, pasca New Normal digaungkan, angka Covid-19 masih belum berakhir.
Sementara Koordinator Bidang Penanganan Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19, dr Pudji Umbaran, dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jombang, dr Achmad Iskandar Dzulqornaen, saat dikonfirmasi, menyarankan agar keterangan perihal ketersediaan posko dan klaster Covid-19, didapatkan langsung dari Dinkes.
Hanya saja, pihak Dinkes tidak merespon saat dihubungi melalui nomor WhatsApp-nya. Kendati tanda centang dua berwarna biru atau sudah terbaca. Ini tak hanya terjadi sekali. Begitu juga saat ditemui saat kegiatan Bulaga di Kecamatan Mojoagung, Kepala Dinkes Jombang menolak diwawancarai dan menyarankan langsung ke Bupati.
Kondisi ini, kemudian disorot Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK) Jombang, Aan Anshori. Sikap bungkam Dinkes maupun Pemerintah Kabupaten perihal Covid-19, kata Aan, menunjukkan tidak adanya transaparansi perihal dinamika perkembangan Covid-19 di Jombang. Dimungkinkan, katanya, karena tidak ingin dipermasalahkan lagi sehingga memilih untuk memburamkan.
“Memburamkan dalam arti mereka terus memantau, melakukan apa yang harus dilakukan, tetapi mereka juga memilih untuk tidak terbuka lagi soal data-data. Barangkali mereka tidak mau disalahkan jika angka Covid-19 menjadi tinggi,” ujar Aan melalui sambungan telepon, Jumat (1/10/2020).
Aan juga mengatakan, hal tersebut secara nasional menjadi Policy dimana Pemerintah Pusat cenderung tidak ketat dalam melakukan updating data dibandingkan tiga, empat bulan lalu dalam prespektif memaknai kondisi New Normal.
“Yang saya mau kritik adalah kebijakan yang seperti itu adalah kebijakan yang tidak transparan. Terutama kepada jurnalis, karena itu sangat bertentangan dengan kebebasan pers itu sendiri,” ungkapnya.
Ia mengecam, pemerintah tidak cukup transparan mengenai persoalan perkembangan Covid-19. Sebab masyarakat berhak mengetahui kesehatan secara regional yang ada di Kabupaten Jombang.
“Bolehlah mereka tidak mengupload data Covid-19 di website mereka, karena itu hak mereka. Tetapi, kalau ditanya wartawan atau warga, mereka juga harus ngomong secara jujur. Dan data Covid-19 itu sendiri bukan termasuk data yang dikecualikan, bukan data yang masuk dalam status rahasia negara yang tidak boleh diakses publik,” tegasnya.
Jika data Covid-19 lengkap dengan keterangan-keterangannya dan publik bisa mengetahui, justru bisa dijadikan pelajaran penting bagi masyarakat. Karena masyarakat akan memposisikan dirinya ditengah situasi pandemi Covid-19 dan lebih berhati-hati.
“Namun, jika data tersebut tidak bisa diakses, gelap gulita tidak mendapat penerangan, maka masyarakat akan menganggap bahwa Covid-19 ini sudah selesai, padahal kan tidak,” katanya.
Tanpa adanya kontrol dari masyarakat, kata Aan, maka tidak akan bisa diketahui sejauhmana langkah-langkah yang dilakukan Pemkab yang menyangkut penanggulangan Covid-19.
“Kenapa itu penting? ya karena dalam penanggulangan Covid-19 itu menggunakan uang rakyat yang tidak sedikit. Mencapai Rp 140 Miliyar lho. Kalau masyarakat menganggapnya ini sudah tidak ada masalah, tapi dana terus dikeluarkan dan lain sebagainya, maka berpotensi korupsi tinggi,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Aan, semakin Pemkab Jombang tidak transparan, maka masyarakat akan semakin mengendorkan ikat pinggang (lengah) dan menganggap Covid-19 sudah selesai.
Begitupun dengan posko-posko Covid-19 yang harus lebih dipastikan dan diupayakan pada klaster-klaster yang berpotensi besar penyebaran Covid-19 untuk berperan dan berfungsi sebagaimana mestinya.
“Posko-posko tersebut tidak lagi bisa bekerja secara optimal, karena pemerintah kerjanya juga begitu, tidak transaparan,” tandasnya.
Aan menegaskan, secara konkrit, pemerintah harus terbuka untuk menjelaskan kepada publik perihal Covid-19, agar tidak berpura-pura bahwa Covid-19 sudah selesai.
“Bertindak konkrit, dengan mengumumkan data secara transaparan, perbanyak dan permudah masyarakat untuk mendapat tes rapid atau swab, kalau perlu gratis, Tujuannya, agar diketahui siapa yang sakit siapa yang sehat. Karena tanpa tes, tidak bisa dideteksi seberapa sehat ataupun sakit masyarakat tersebut. Juga perlunya audit kinerja pemerintah terkait penanggulangan Covid-19, yang dalam hal ini DPRD harus memaksa untuk melakukan audit kinerja kepada pemerintah,” pungkasnya.